Makalah Penyimpangan Nilai Pancasila Dalam Kasus Pelanggaran HAM


Contoh Makalah Penyimpangan Nilai Pancasila Dalam Kasus Pelanggaran HAM


BAB 1
PENDAHULUAN
1.1       Latar Belakang
Hak asasi manusia merupakan hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia, kodrati dan alami sebagai makhluk Tuhan Yang Mahakuasa. Oleh karena itu, wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang. Nilai-nilai persamaan, kebebasan, dan keadilan yang terkandung dalam HAM dapat mendorong terciptanya masyarakat egaliter yang menjadi ciri civil society. Oleh karena itu, penegakan HAM merupakan prasyarat dalam menciptakan masyarakat yang madani.
Kesadaran masyarakat internasional akan pentingnya perlindungan hak-hak asasi manusia (HAM) sangat meningkat dalam tempo lebih dari 18 tahun terakhir ini. Suatu arus perubahan global telah meninggalkan otokrasi-otokrasi politik dan mengisolasikan bagaikan para pelaut yang berada pada bagian bawah dari gelombang air pasang. Semenjak tahun 1989, sejumlah besar negara di berbagai belahan dunia dan benua, telah melaksanakan reformasi, dan bergerak ke arah kategori kemunculan dan kemunculan kembali demokrasi, dan memproklamirkan dukungan terhadap HAM internasional dengan tulus.
Berbagai perkembangan di dunia internasional dalam bidang HAM juga memiliki pengaruh yang signifikan di Indonesia. Pada saat-saat ini bangsa Indonesia sedang berada dalam masa transisi politik menuju demokrasi,. Salah satu hal yang harus dituntaskan dalam masa transisi politik tersebut adalah penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu, yaitu seperti pelanggaran HAM berat pada tahun 1998 dan kasus Munir serta kasus pelanggaran HAM lainnya.

1
Terlepas dari belum berhasilnya Indonesia menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran HAM—khususnya pelanggaran-pelanggaran
HAM berat—secara tuntas, sebagai salah satu pasyarat pokok untuk melewati masa transisi dengan sukses, isu-isu HAM telah menjadi salah satu isu penting yang muncul dalam kosakata Indonesia.
Mengingat semakin pentingnya pemahaman tentang isu-isu HAM ini pada masa yang akan datang, terutama melaui mekanisme pendidikan dari tingkat Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi dengan ditinjau melalui konteks sila-sila yang terkandung dalam Pancasila.
1.2       Rumusan Masalah
1.        Bagaimana konseptualisasi dan rekonstruksi HAM ditinjau dari konteks Pancasila?
2.        Bagaimana hubungan Hak Asasi Manusia dalam kehidupan masyarakat?
3.        Apa saja peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah pelanggaran HAM di Indonesia?

1.3       Tujuan Penyusunan
1.        Menjelaskan tentang konseptualisasi dan rekonstruksi HAM ditinjau dari konteks Pancasila,
2.        Memaparkan hubungan Hak Asasi Manusia dalam kehidupan masyarakat,
3.        Membahas mengenai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelanggaran HAM di indonesia.




BAB 2
PEMBAHASAN

2.1  Konseptualisasi dan Rekonstruksi HAM dalam Konteks Pancasila
Kasus tewasnya Munir yang hingga kini belum terungkap siapa pelaku utamanya adalah satu dari sekian buruknya potret perlindungan HAM bagi para pembela HAM di Indonesia. Kita bangga dengan hadirnya para pembela HAM. Kita mengapresiasikan kerja-kerja kemanusiaan terus ditorehkan sebagai upaya sadar membangun bangsa yang beradab. Pikiran picik dan simplistik atas karya-karya pmbela HAM merupakan pengingkaran terhadap kebenarann dan hati nurani. Inilah puncak dari pengkhianatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Oleh karena itu, dibutuhkan kesadaran jamak masyarakat Indonesia, terutama pemerintah, untuk menghormati dan melindungi hak dan tanggung jawab pembela HAM dalam kerja-kerja kemanusiaan. Kita, secara pribadi dan kelompok, berhak dan bertanggungjawab melindungi dan memajukan HAM. Mari kita lakukan kerja-kerja HAM itu dengan dasar kejujuran, keikhlasan, dan kebenaran.
Wacana HAM terus berkembang seiring dengan intensitas kesadaran manusia atas hak dan kewajiban yang dimilikinya. Begitu derasnya kemauan dan daya desak HAM, maka jika ada sebuah negara yang diidentifikasikan melanggar dan mengabaikan HAM, dengan sekejap mata di belahan bumi ini memberikan respons.

Terlebih beberapa negara yang dijuluki sebagai adi kuasa memberikan kritik, tudingan, bahkan kecaman keras seperti embargo dan sebagainya.
1.       Pengertian Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia merupakan hak kodrati yang melekat pada manusia. Hak asasi melambangkan kemanunggalan hidup manusia dengan dimensi instrinsiknya. Kelahiran dan kemunculan HAM adalah isu universal sekalipun dalam kurun waktu tertentu isu itu digelindingkan dalam konteks Pancasila. Yang jelas muatan dan pesan aktualnya merupakan representasi kehidupan jamak manusia.

2.       HAM; Antara Wacana dan Realita
Bagi Indonesia, wacana HAM masuk dengan indah ke dalam benak-benak anak bangsa. Dalam konteks reformasi, pemikiran ke arah bentuk jaminan HAM yang lebih kokoh semakin mendapatkan momentumnya. Perubahan UUD 1945 adalah fakta sejarah sekaligus diyakini sebagai titik mulai bagi penguatan demokrasi Indonesia yang berbasis perlindungan HAM.
Begitupun dalam tataran realitas, kemajuan normativitas HAM belum berjalan dengan maksimal. Pelanggaran HAM masih terjadi secara masif. Eforia reformasi menyisakan problematika tersendiri.
HAM berubah menjadi “dua sisi dari sebuah mata pisau.” Pada satu sisi mengedepankan dimensi humanitas manusia, tetapi pada sisi yang lain HAM dipandang terlalu menakutkan bagi setiap orang terlebih bagi pengambil kebijakan karena di dalamnya sarat dengan hegemoni dan kooptasi.




3.       Rekonstruksi Instrumen Hukum HAM
Persoalan penghormatan dan pelaksanaan hak asasi manusia diharapkan lebih banyak dikembalikan kepada kemauan politik dan keberanian politik masing-masing pimpinan negara untuk menghukum siapa saja, termasuk warga negaranyayang telah melanggar HAM yang ada. Untuk mengefektifkan harapan tersebut hubungan antarpimpinan negara  dalam skala internasional ditingkatkan terus.
Secara logika, semakin banyak negara yang menganut sistem demokrasi yang berarti semakin memihak kepada rakyat, lebih-lebih dengan memerhatikan dan berpatokan pada persamaan filosofi dasarnya, akan memperkuat rasa saling menghormati dan saling membantu untuk menegakkan HAM. Hal ini dapat mempercepat upaya meraih keadilan dan kemakmuran rakyat.
Namun, dalam perwujudannya banyak mengalami hambatan. Faktor perbedaan politik menjadi kendala utama, sehingga hak asasi adalah milik manusia/rakyat belum dapat terwujud dengan baik. Lebih-lebih bila demokrasi yang berarti dari rakyat, namun dalam praktik belum untuk rakyat, dapat “menjauhkan” cita-cita penghormatan HAM.
4.        HAM dalam konteks Pancasila
Pancasila seharusnya dijadikan sebagai prinsip pemberadaban manusia dan bangsa Indonesia. Masalah-masalah nasional yang menentukan jalannya sejarah bangsa Indonesia sepatutnya dipertanyakan dan direfleksikan dalam kerangka Pancasila, terutama sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Berbagai tindakan dan perilaku yang sangat bertentangan dengan sila perikemanusiaan tidak sepatutnya mewarnai kebijakan dan perilaku aparatur negara dalam kehidupan publik.




Kekerasan, kemiskinan, ketidakadilan, dan kesenjangan hidup merupakan kenyataan yang sungguh bertentangan dengan rasa keadilan dan kemanusiaan, dan oleh karena itu harus dihapuskan dari perikehidupan bangsa.
Persoalan hak-hak asasi manusia (HAM) menjadi tantangan yang serius dalaam membuktikan komitmen kemanusiaan bangsa indonesia. Yang menjadi komitmen penegakan HAM tidak terbatas pada pemuliaan hak-hak sipil dan politik, melainkan juga pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya. Para pendiri bangsa telah merumuskan apa yang disebut sebagai “tiga generasi HAM”, yang mengindikasikan bahwa kepedulian bangsa kita terhadap hak-hak asasi manusia sudah bergerak jauh ke depan. Kenyataan ini mestinya memberi motivasi kepada bangsa Indonesia untuk senantiasa berada di barisan terdepan dalam memuliakan hak-hak asasi manusia dalam kehidupaan nasional dan internasional dii tengahpusaran arus globalisasi yang mengandung potensi dehumanisasi.

2.2   Hubungan Hak Asasi Manusia dalam Kehidupan Manusia
1.     Hubungan Sistem Hukum dan Sistem Politik dari Sudut Pandang HAM
Hidup bermasyarakat bagi warganya berarti siap/mau mengikuti pola hubungan antarindividu dalam kelompok yang telah ada sebelumnya. Adanya pola tingkah laku sama yang dipertahankan dan dikembangkan terus oleh warganya, sehingga tercipta/terjalin interaksi sosial.


Dalam interaksi yang terjaga dengan baik akan terjalin semangat kerja sama yang baik pula. Ketika ada anggota masyarakat yang bertindak di luar pola yang telah diakui, tidak jarang mengakibatkan terjadinya konflik.
Adanya organisasi sosial kuat dan menghormati kesepakatan-kesepakatan yang ada serta mampu membangun tradisi demokrasi yang kuat akan mampu mengatur dan menanganimasalah sosial yang ada. Kemungkinan terjadinya konflik internal akan dapat diminimalisasikan. Adanya konflik yang dapat mengakibatkan disfungsinya tugas/tujuan sosial akan menggangu kehidupan anggota masyarakat itu sendiri. Karenanya, konflik dalam masyarakat, lebih-lebih dalam masyarakat yang semakin modern dan kompleks, campur tangan hukum sangat diperlukan/dirasakan pentingnya. Dengan cara dan teknik tersebut, diharapkan penyelesaiaannya semakin proporsional, adil, dan rasional. Perkembangan pemikiran tersebut dilihat dariide dan pemikiran HAM merupakan rangkaian proses dan langkah-langkah untuk menghormati hak asasi manusia itu sendiri. Sebab, bermasyarakat jujur harus diakui adalah untuk kebahagiaan/kepuasaan bersama.
2.     HAM dalam Transisi Politik Sentralisasi ke Sistem Politik Demokratis
Bicara sistem politik pada intinya bicara pilihan sistem politik. Sistem politik diktator/otoriter/sentralistik/absolutisme atau sistem politik demokratis/populis/kerakyatan, walau dalam peraktik terdapat varian diantara kedua sistem tersebut. Dalam kedua sistem tersebut sistem politik mempunyai hubungan timbal balikdengan hukum serta berdampak langsung terhadap penegakan dan pengakuan terhadap HAM.



Dalam sistem politik diktator, hukum yang dihasilkan berwatak represif, mempertahankan status quo, mempertahankan kepentingan penguasa. Dalam sistem hukum yang berwatak represif/reaktif, dapat dipastikan hak-hak rakyat terabaikan, terutama HAM tidak pernah mendapat prioritas. Pemerintah diktator memiliki kekuasaan mutlak dan sentralistis, aparat dan pejabat negara dibawah kontrol/kendali penguasa. Dalam sistem tersebut, oposisi tidak diberi ruang gerak, dan kalau ada lebih sebagai aksesoris politik saja.
Sebaliknya dalam sistem politik demokratis, watak hukum yang dihasilkan bersifat responsif, akomodatif. Substansi hukum yang tertuang di dalam beragam peraturan perundangan yang ada menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. HAM menjadi salah satu ukuran penegakan hukum. Dalam sistem tersebut terjalin komunikasi serasi antara opini publik lewat wakil-wakilnya, juga media massa, agamawan, cendikiawan, dan LSM dengan pemerintah. Dengan demikian hukumnya ditandai dengan konsep impartiality, consistency, openness, predictability, dan stability. Semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum. Ciri inilah yang disebut rule of law. Untuk tujuan tersebut, demokrasi dikatakan gagal kalau hanya menekankan pada prosedur melupakan substansi demokrasi. Substansi demokrasi yaitu mewujudkan kehendak rakyat, yang dibuktikan dari perjuangan wakil-wakilnya di DPR.
Penguasa/pemerintah di dalam menjalankan roda pemerintahannya lewat keputusan dan kebijaksanaan yang ditempuh, memiliki kekuasaan dan kewenangan, yang dipakai sebagai alat/sarana, baik dalam menjalankan tugas maupun menyelesaikan konflik yang ada. Sebenarnya, pilihan sistem politik diktator atau demokratis suatu negara tidak dapat dilepaskan dari politik hukum yang telah ditetapkan sebelumnya.

9
Politik hukum yang dituangkan di dalam undang-undang dasar suatu negara merupakan pedoman/dasar utama serta pilihan yang harus dilaksanakan oleh para pejabat negara.
Indonesia menentukan politik hukum sebagaimana tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945, antara lain menciptakan masyarakat adil, makmur, bersatu , dan berdaulat yang harus diaplikasikan oleh para pejabat, politisi, birokrat dalam semua strata yang ada. Dengan demikian, politik selalu terkait dengan tujuan dari seluruh masyarakat dan bukan tujuan pribadi. Lagi pula politik menyangkut kegiatan berbagai kelompok, termasuk partai politik dan kegiatan orang per orang (individu).
Kalau kepentingan nasional menjadi ukuran/egangan, ditambah adanya kemauan politik dan keberanian politik penguasa sendiri untuk memperbaiki diri dan “kembali” ke politik hukum yang telah ditetapkan sebelumnya, kalau memang banyak terjadi penyelewengan/KKN misalnya, maka penyelewengan, penyalahgunaan kekuasaan politik yang ada, menjadi prioritas utama untuk diberantas, sehingga KKN dapat dikurangi secara bertahap.
Karena itulah, dalam masyarakat yang paternalistik sebagaimana peran para intelektual, budayawan, idealis, agamawan tetap diharapkan. Dengan demikian, perubahan politik memerlukan pula pemikiran kelompok-kelompok tersebut. Selain itu, salah satu kunci mempertahankan penegakan hukum dan stabilitas politik lebih lanjut, selain para pimpinan formal mampu memantapkan niat untuk mewujudkan politik hukum yang sudah ditetapkan, diikuti langkah konkret dengan mengangkat taraf hidup, kesejahteraan dan ketentraman semua anggota masyarakat, terutama lapisan bawah yang tidak/kurang beruntung.


Lebih-lebih kalau keterpurukan tersebut berbentuk kemiskinan kultural yang harus diperangi, dan tidak menambah jumlah kemiskinan struktural, hal ini sangat terkait dengan penegakan HAM.
Sehubungan dengan itu, seorang politikus hendaknya juga seorang negarawan yang mempunyai kemantapan wawasan yang luas dan selalu menghormati norma-norma hukum yang ada. Terciptanya kesadaran politik bersama-sama dengan kesadaran hukum sangat diharapkan dalam waktu yang relatif bersamaan. Kesadaran politik tinggi berarti kesadaran bernegara cukup tinggi, sehingga pada saatnya kesadaran hukumnya akan mengiringi pula.
Hal ini akan menunjang sistem politik yang sehat dan demokratis. Dari sinilah perlu dikembangkan pendidikan politik dan Pancasila dan seterusnya partisipasi politik bagi seluruh warga negaranya. Lewat pendidikan politik dan Pancasila yang objektif, terbuka, dan dialogis akan menciptakan/memantapkan kultur politik serta kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik yang ada, dan pada akhirnya dapat meningkatkan rasa cinta tanah air, negara, dan kemanusiaan.

2.3       Peraturan Perundang-undangan yang Berkaitan dengan Pelanggaran HAM di Indonesia
Usaha untuk melindungi hak asasi manusia atau HAM sudah diperdebatkan sejak waktu menyusun rancangan UUD 1945 di BPUPKI antara Sukarno-Supomo di satu pihak dan Hatta-Muh.Yamin di lain pihak. Menurut Sukarno-Supomo, negara yang hendak didirikan berdasar paham kekeluargaan, sedang HAM adalah buah dari paham individualisme, sehingga HAM tidak perlu dimasukkan ke dalam UUD. Tetapi menurut Hatta-Muh.Yamin, untuk menjaga agar negara yang hendak didirikan tidak menjadi negara kekuasaan, maka HAM perlu dimasukkan ke dalam UUD.

11
Terlepas dari penilaian hasil perdebatan tersebut, ketika rancangan UUD 1945 disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI, di dalam Batang Tubuh dari UUD 1945, HAM hanya dimuat pada Pasal 27, Pasal 8, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, dan Pasal 34 saja, sedang untuk pelaksanaan dari Pasal 28, Pasal 30 dan Pasal 31masih harus ditetapkan dengan undang-undang. HAM yang dimuat dalam UUD 1945 mendahului HAM seperti yang dimuat dalam Universal Declaration of Human Right atau Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB, karena deklarasi tersebut baru tanggal 10 desember 1948 ditetapkan oleh Sidang Umum PBB di Paris.
Oleh karena itu, tidak pada tempatnya jika sampai dibandingkan kelengkapannya antara HAM yang dimuat di dalam Batang Tubuh dari UUD 1945 dengan HAM yang dimuat di dalam Deklarasi HAM­-PBB. Tetapi pada waktu berlakunya Konstitusi RIS dan UUDS 1950, masing-masing adalah satu-satunya konstitusi atau UUD di seluruh dunia yang telah berhasil memasukkan HAM seperti yang dimuat di dalam Deklarasi HAM-PBB ke dalam Konstitusi atau UUD.
Pada waktu Konstituante menyusun UUD untuk menggantikan UUDS 1950, sebenarnya Konstituante sudah berhasil menyusun HAM yang akan dimuat dalam UUD, tetapi keburu Konstituante dibubarkan dengan Dekrit Presiden RI/Panglima Tertinggi Angkatan Perang tanggal 5 Juli 1959 dan memberlakukan kembali UUD 1945. Setelah ditetapkan UUD 1945 berlaku kembali, baik jaman Orde Lama maupun Orde Baru, banyak sekali dikeluarkan peraturan perundang-undangan yang isisnya merupakan pelanggaran HAM.






12
Misalnya jaman Orde Lama telah dikeluarkan Penetapan Presiden Nomor 7 Tahun 1959 tentang Syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian dan Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 1960 tentang Pengakuan, Pengawasan, dan Pembubaran Partai-partai, sedang pada jaman Orde Baru telah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985.
Karena banyak sekali terjadi pelanggaran HAM, maka banyak sekali pula tekanan-tekanan, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri agar ada perlindungan HAM di Indonesia. Untuk menanggapi tekanan-tekanan tersebut, dengan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 telah dibentuk KOMNAS HAM yang kegiatannya antara lain adalah memantau dan menyelidiki pelaksanaan HAM serta memberikan pendapat, pertimbangan, dan saran kepada badan pemerintahan negara mengenai pelaksanaan HAM.
Setelah jaman Orde Baru diganti dengan jaman Orde Reformasi, MPR baru berhasil membuat ketetapan mengenai HAM, yaitu TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang naskahnya disusun sebagai berikut:
1.                  Pandangan dan sikap bangsa Indonesia terhadap HAM.
2.                  Piagam HAM.

Pada Pasal 44 Piagan HAM ditentukan bahwa untuk menegakkan dan melindungi HAM sesuai dengan pinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan HAM dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Atas dasar ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 44 Piagam HAM tersebut, maka ditetapkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Di dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 disebutkan antara lain:

13
a.                  Pengaturan mengenai HAM ditentukan dengan berpedoman pada Deklarasi HAM-PBB, Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, Konvensi PBB terhadap Hak-hak Anak dan berbagai instrumen internasional lain yang mengatur mengenai HAM.
b.                  UU No.39 Tahun 1999 adalah merupakan payung dari seluruh peraturan perundang-undangan tentang HAM, sehingga pelanggaran, baik langsung ataupun tidak langsung atas HAM dikenakan sanksi pidana, perdata dan administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Oleh karena itu, sudah tepat jika Pasal 2 TAP MPR Nomor XVII/MPR?1998 menugaskan kepada Presiden RI dan DPR untuk meratifikasi berbagai instrumen PBB tentang HAM sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Dengan adanya Penjelasan Umum UU No.39 Tahun 1999 maka akibatnya disamping semua peraturan perundang-undangan tentang atau berkaitan dengan HAM yang sudah ada harus disesuaikan atau ditafsirkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU No.39 Tahun 1999, juga semua peraturan perundang-undangan tentang atau berkaitan dengan HAM yang akan ditetapkan, harus berdasar dan tidak boleh bertentangan dengan UU No.39 Tahun 1999.
Sesudah ditetapkan UU No.39 Tahun 1999 pada sidang Umum MPR tahun 2000, MPR atas dasar Pasal 37 UUD 1945, telah mengadakan perubahan Kedua UUD 1945, yaitu dengan menambah Bab X A tentang HAM yang terdiri dari Pasal 28 a sampai dengan Pasal 28 j.





14
Jadi, untuk mengetahui ketentuan-ketentuan tentang HAM di Indonesia, tidak cukup hanya mengetahui ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU No.39 Tahun 1999 saja, tetapi juga harus mengetahui ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 dan UUD 1945 dengan perubahannya, meskipun harus diakui terdapat adanya tumpang-tindih ketentuan. Misalnya, ketentuan yang terdapat dalam Pasal 10 Ayat (1) UU No.39 Tahun 1999 terdapat juga dalam 2 TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 dan Pasal 28b Ayat (1) UUD 1945.
Pasal 104 Ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 menentukan bahwa untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat dibentuk Pengadilan HAM di lingkungan Peradilan Umum. Atas dasar ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 104 Ayat (1) UU No.39 Tahun 1999 tersebut, ditetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Ternyata Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1999 ini tidak mendapat persetujuan dari DPR untuk menjadi undang-undang dan sebagai gantinya ditetapkan undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang mulai berlaku pada tanggal 23 November 2000 dengan mencabut dan menyatakan tidak berlaku Peraturan Pemerintahan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Di dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 disebutkan bahwa dengan adanya undang-undang ini diharapkan dapat melindungi HAM, baik perseorangan maupun masyarakat dan menjadi dasar dalam penegakan, kepastian hukum, keadilan dan perasaan aman, baik bagi perseorangan maupun masyarakat terhadap pelanggaran HAM yang berat. 



15
BAB 3
PENUTUP
1.1       Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat ditegaskan bahwa Hak Asasi Manusia merupakan hak kodrati yang melekat pada manusia. Hak asasi melambangkan kemanunggalan hidup manusia dengan dimensi instrinsiknya. Kelahiran dan kemunculan HAM adalah isu universal sekalipun dalam kurun waktu tertentu isu itu digelindingkan dalam konteks Pancasila. Yang jelas muatan dan pesan aktualnya merupakan representasi kehidupan jamak manusia.
Persoalan hak-hak asasi manusia (HAM) menjadi tantangan yang serius dalaam membuktikan komitmen kemanusiaan bangsa indonesia. Yang menjadi komitmen penegakan HAM tidak terbatas pada pemuliaan hak-hak sipil dan politik, melainkan juga pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya. Para pendiri bangsa telah merumuskan apa yang disebut sebagai “tiga generasi HAM”, yang mengindikasikan bahwa kepedulian bangsa kita terhadap hak-hak asasi manusia sudah bergerak jauh ke depan.
Dengan adanya Penjelasan Umum UU No.39 Tahun 1999 maka akibatnya disamping semua peraturan perundang-undangan tentang atau berkaitan dengan HAM yang sudah ada harus disesuaikan atau ditafsirkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU No.39 Tahun 1999, juga semua peraturan perundang-undangan tentang atau berkaitan dengan HAM yang akan ditetapkan, harus berdasar dan tidak boleh bertentangan dengan UU No.39 Tahun 1999.




16
1.2       Saran
Pancasila seharusnya dijadikan sebagai prinsip pemberadaban manusia dan bangsa Indonesia. Masalah-masalah nasional yang menentukan jalannya sejarah bangsa Indonesia sepatutnya dipertanyakan dan direfleksikan dalam kerangka Pancasila, terutama sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Berbagai tindakan dan perilaku yang sangat bertentangan dengan sila perikemanusiaan tidak sepatutnya mewarnai kebijakan dan perilaku aparatur negara dalam kehidupan publik, seperti halnya pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu.
Seorang politikus hendaknya juga seorang negarawan yang mempunyai kemantapan wawasan yang luas dan selalu menghormati norma-norma hukum yang ada. Terciptanya kesadaran politik bersama-sama dengan kesadaran hukum sangat diharapkan dalam waktu yang relatif bersamaan. Kesadaran politik tinggi berarti kesadaran bernegara cukup tinggi, sehingga pada saatnya kesadaran hukumnya akan mengiringi pula.Hal ini akan menunjang sistem politik yang sehat dan demokratis. Dari sinilah perlu dikembangkan pendidikan politik dan Pancasila dan seterusnya partisipasi politik bagi seluruh warga negaranya. Lewat pendidikan politik dan Pancasila yang objektif, terbuka, dan dialogis akan menciptakan/memantapkan kultur politik serta kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik yang ada, dan pada akhirnya dapat meningkatkan rasa cinta tanah air, negara, dan kemanusiaan.
Penulis berharap semoga makalah ini dapat menjadi salah satu bahan untuk dapat menambah pengetahuan dalam hal penegakan Hak Asasi Manusia dan peraturan  perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dan juga penulis mengharapkan adanya sumbangsih kritik dan saran yang bersifat membangun guna penyusunan makalah berikutnya yang lebih sempurna lagi.

17
Daftar Pustaka
Effendi, A. Masyhur. Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM): Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM). Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005.
Muhtaj, Majda El. Dimensi-dimensi HAM: Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Jakarta: Rajawali Pers, 2008.
Wiyono, R. Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006.

Yudilatif. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Contoh Esai Novel Rindu

Analisis Teks Sejarah, Struktur dan Kaidah Kebahasaan