Contoh Esai Novel Rindu




Berikut merupakan contoh esai mengenai novel Rindu
Dijadikan sebagai contoh ya gaes:)


Esai Novel “Rindu” karya Tere Liye

Tere Liye merupakan salah satu penulis novel fiksi yang sudah tidak diragukan lagi kemahirannya. Setiap karyanya selalu memiliki ciri khas dan meninggalkan kesan bagi para pembaca. Hal ini dapat dilihat dari berbagai judul bukunya yang mendapat label “best seller” dan juga tingginya antusias pembaca untuk menghadiri seminar kepenulisan bersama Darwis Tere Liye. Dan Rindu merupakan salah satu karya terbaiknya.
Rindu adalah novel ke-20 yang ditulis oleh Darwis Tere Liye pada Oktober 2014. Novel setebal 544 halaman ini menyuguhkan cerita yang terbilang unik. Menceritakan kisah perjalanan sebuah kapal pergi haji dengan latar pemerintahan Hindia-Belanda pada tahun 1938. Satu perjalan dengan lima kisah mengharukan. Tentang masa lalu yang memilukan, tentang kebencian pada sesorang yang seharusnya disayangi, tentang kehilangan kekasih hati, tentang cinta sejati dan tentang kemunafikan.
Sinopsis dari novel tersebut sangat menarik, tak heran banyak orang yang membeli novel tersebut karena jatuh hati pada sinopsisnya. Potongan dari sinopsisnya antara lain yaitu, “Apalah arti memiliki jika diri kami sendiri bukan milik kami? Apalah arti cinta, ketika kami menangis terluka atas perasaan yang seharusnya indah?”.
Novel yang hampir secara keseluruhan menceritakan kehidupan selama berbuan-bulan di atas sebuah kapal dengan alur maju pada awalnya cukup membosankan. Namun, cerita mulai terlihat menarik ketika permasalahan mulai dimunculkan. Ketika setiap karakter ditonjolkan satu persatu dan banyak kisah menarik dibalik setiap tokoh yang ada.
Penulis membawakan alur cerita disertai keceriaan dan keluguan sepasang kakak beradik Anna dan Elsa. Mereka merupakan anak dari Daeng Adipati, salah satu tokoh yang mengikuti perjalanan naik haji bersama istrinya yang sedang mengandung. Latar cerita yang monoton berubah menjadi sedikit lebih menarik dengan hadirnya Anna dan Elsa.
Pembaca akan disuguhkan dengan berbagai karakter yang sungguh menarik. Salah satunya yang paling unik dan jarang ditemui pada novel fiksi kebanyakan adalah seorang ulama. Ahmad Karaeng atau Guratta merupakan salah satu tokoh yang akan membuat anda jatuh hati melalui cara berpikirnya. Seseorang yang akan menjawab empat dari lima pertanyaan yang disuguhkan selama perjalanan, sekaligus memiliki satu pertanyaan yang ia simpan.
Di dalam cerita, pembaca juga mungkin akan jatuh hati pada tokoh Ambo Uleng. Ia merupakan tokoh yang cukup banyak memiliki kisah yang disembunyikan, yang akan tersingkap seiring berjalannya cerita. Saya sangat menyukai tokoh ini. Seorang pemuda yang tegar, cerdas dan kuat. Namun, sikap yang ia tunjukkan begitu dingin, dalam artian ia adalah seseorang yang sedikit berbicara. Terlepas dari itu, ia memiliki sikap yang baik, dengan kisah heroik menyelamatkan Anna pada sebuah kericuhan, dengan kisah cinta yang sunnguh manis juga mengharukan dan dengan aksi perlawanannya terhadap pembajakan kapal, tokoh ini akan memberikan kesan bagi setiap pembaca.
Di sepertiga awal cerita, pertanyaan pun muncul dari seorang guru mengaji dalam kapal, Bonda Upe. “Aku adalah mantan cabo, apa mungkin Allah mengijinkan aku untuk menginjakkan kaki di Tanah Suci?”. Pertanyaan ini dijawab dengan bijak oleh Guratta. Kisah lampau mengenai Bonda Upe akan membuat para pembaca tersentuh, melalui masa lalu nya yang silam, melalui suaminya yang menerimanya apa adanya dan melalui jawaban bijak dari Sang Ulama.
Pembaca akan dibuat terkejut oleh pertanyaan kedua karena pertanyaan kedua berasal dari tokoh yang terlihat sempurna kehidupannya, Daeng Adipati. Ia bertanya tentang bagaimana ia menghapus kebencian yang sudah ada dalam dirinya selama bertahun-tahun kepada sesorang yang seharusnya ia sayangi. Pertanyaan ini begitu mengesankan mengingat konflik yang terjadi pada keluarga Daeng Adipati di masa lalu.
 Sampai pada bagian tengah cerita, penulis menyuguhkan kisah cinta dengan sudut pandang yang berbeda dari biasa. Bukan kisah cinta mengenai sepasang insan muda, melainkan mengenai kisah cinta sejati sepasang kakek-nenek, sehidup semati. Pertanyaan ketiga muncul dari Mbah Kakung, seseorang yang memiliki usia paling tua dikapal. Seseorang yang memiliki kisah cinta yang sungguh romantis dengan pasangannya dan tengah menepati janjinya terhadap istrinya, untuk pergi haji bersama. Pertanyaan muncul ketika ia harus kehilangan istrinya. Pertanyaan yang mungkin lumrah ditemui, namum pembaca akan dibuat haru dengan jawaban Sang Ulama. “Kenapa harus sekarang?” (Mbah Kakung kepada Guratta).
Pertanyaan keempat berkisah tentang cinta. Tentang  kisah cinta Ambo Uleng yang manis sekaligus mengharukan. “Kami tidak pernah bicara walau sepatah katapun. Aku juga tidak berani menatapnya. Kalau berpapasan, dia menunduk. Tapi aku tahu, kami saling menyukai.”(Ambo Uleng kepada Guratta). Pertanyaan Ambo Uleng sederhana, namun sukar untuk dijawab. Ia bertanya mengenai apa itu cinta sejati.
Memasuki akhir cerita, perjalanan ini diwarnai kisah perompakan kapal. Gaya penulisan penulis mampu membawa tegang pembaca dengan pertempuran yang terjadi di dalam kapal. Kemudian pertanyaan kelima muncul. Pertanyaan datang dari Sang Ulama yang telah menjawab keempat pertanyaan tersebut. Ia menyimpan satu pertanyaan, tentang kemunafikan. Bagian tersebut terdapat pada akhir dari cerita. Cara penyampaian jawaban yang disajikan secara tersirat dan penuh makna serta epilog yang tidak terduga merupakan salah satu hal yang yang menjadi penutup dari kisah perjalanan panjang tersebut.
Rindu merupakan salah satu novel yang terbilang unik karena penulis mampu menyajikan cerita yang apik dengan latar yang tidak biasa dijumpai. Novel ini sesuai dibaca untuk berbagai kalangan, baik muda maupun dewasa, mengingat nilai moral yang sangat banyak ditemui dalam novel ini. Bukan Tere Liye namanya jika karyanya tidak membekas kepada paca pembaca juga menyirat nilai moral yang tinggi. Gaya kepenulisan yang sederhana namun estetis serta mudah dimengerti merupakan salah satu ciri khas penulis.
Dibandingkan dengan buku lain yang mengaitkan tema agamis ke dalam novel nonfiksinya, kelebihan Tere Liye yaitu dalam gaya penulisan dan penyampaian nilai moralnya. Walaupun cara penulisannya tidak dominan pada sisi agama, namun ia berhasil membuat pembaca lebih merasakan sisi agamisnya.
Kekurangan dari novel ini yaitu awal cerita yang sedikit membosankan. Terlepas dari itu, novel ini sangat saya sarankan untuk dibaca, karena selain dari aspek pesan moral yang disampaikan oleh penulis, novel ini mampu membawa pembaca larut dalam cerita dan menikmatinya.

Komentar

  1. kak ini membuat esai nya menggunaka teori sastra apa ?

    BalasHapus
  2. maaf, setahu saya tulisan ini adalah teks kritik. maaf kalau saya salah ya...

    BalasHapus
  3. Annoying task ️πŸ˜…πŸ˜…

    BalasHapus
  4. maaf ini esai atau resensi ya?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis Teks Sejarah, Struktur dan Kaidah Kebahasaan

Makalah Penyimpangan Nilai Pancasila Dalam Kasus Pelanggaran HAM